26 Oktober 2008

Ayahanda.... 2 tahun dalam kenangan

Bismillahirrahmaanirrahiim

Di matamu masih tersimpan selaksa peristiwa......

Sepertinya baru kemarin aku merasakan hangat pelukanmu, sepertinya baru kemarin kucium tanganmu. Bapak begitu cepat Allah memanggilmu pulang. Di saat kami masih rindu kasih sayangmu. Engkau tinggalkan kami di hari-hari bahagia, 2 hari setelah Idul Fitri 2 tahun silam tanpa firasat dan tanpa sakit apapun.

Bapak,
belum banyak yang bisa kubaktikan diriku untukmu. Belum banyak yang dapat kulakukan untukmu. Tidak sanggup rasanya aku membalas semua kebaikan dan kasih sayangmu yang tiada terbatas.

Bapak,
semoga saat ini engkau telah tenang di alam penantian sana. Aku dan adik-adik selalu berdoa untukmu. "allahumaghfirlii wa liwalidayyaa warhamhumaa kamaa rabbayanii saghiraa"

Ya Allah, semoga engkau menjadikan aku dan adik-adikku ke dalam golongan anak sholeh, sehingga Engkau berkenan menerima do'a kami untuk bapak kami tercinta.

Ya Allah, ingatkanlah aku dan adik-adikku untuk selalu berkesempatan mendo'akan ayahanda kami di setiap sholat kami.

Ya Allah, sayangilah bapak, jagalah bapak, sebagaimana bapak menyayangi dan menjaga kami.

Ya Allah, pertemukanlah kelak kami di jannah MU.....

amiin......

anak-anakmu yang bandel :
sigid - hendy - bowo - ari

09 Oktober 2008

Presiden SBY Janji Iklankan Laskar Pelangi

Bismillahirrahmaanirrahiim

Merasa tercerahkan setelah menonton film Laskar Pelangi arahan sutradara Riri Riza, Presiden Susilo Bambang Yudhoyono merasa perlu untuk ikut mempromosikan film yang diangkat dari karya novel best seller Andrea Hirata itu. Presiden Susilo berharap akan banyak orang yang akan menonton film tersebut sehingga ikut juga tercerahkan dan termotivasi setelah menonton film tersebut.

"Laskar Pelangi merupakan karya seni berkualitas tinggi. Pesan akan pentingnya pendidikan disampaikan dengan jelas. Oleh karena itu saya akan ikut mengiklankan film ini, agar lebih banyak lagi yang menonton, bahkan hingga ke luar negeri," ujar Presiden Susilo usai menyaksikan film tersebut di Blitz Megaplex, Grand Indonesia, Rabu (8/10) malam.

Makin banyaknya bermunculan film-film berkualitas yang syarat makna, Presiden Susilo berharap akan memicu kebangkitan ekonomi perfilman dan ekonomi kreatif di negeri ini. "Film nasional telah menjadi tuan rumah di negerinya sendiri. Dan semoga akan lebih banyak lagi orang-orang yang membuat film berkualitas," ujarnya.

Sementara itu, Andre Hirata, penulis novel yang menjadi bagian dalam kisah tersebut, mengaku tak pernah menyangka kalau kisah hidupnya di masa lalu itu mendapat perhatian besar dari seorang presiden. "Saya senang mendapat apresiasi positif dari presiden. Enggak menyangka akan seperti ini. Karena pada awalnya novel ini bukan untuk difilmkan. Malah tadinya tidak untuk diterbitkan," ungkap Andrea.

Bagi Andrea, waktu yang diluangkan Presiden Susilo untuk melihat kisah hidupnya dalam sebuah film merupakan momen yang luar biasa baginya. "Presiden membuat nilai-nilai dalam film ini lebih berarti. Dan membuat film Laskar Pelangi memiliki artikulasi yang lebih luas dari bukunya," puji Andrea

SBY Bikin Resensi Film Laskar Pelangi


Bismillahirrahmaanirrahiim

Resensi film atau penilaian atas film bisa dibikin tak cuma oleh pengamat film. Seorang presiden juga bisa membuatnya. Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, yang dikenal dengan SBY, telah melakukannya.

Sehabis menonton film Laskar Pelangi, yang diangkat dari novel berjudul sama karya Andrea Hirata, dan disutradarai oleh Riri Riza, Rabu (9/10) malam di Studio 1 Blitz Megaplex Grand Indonesia, Jakarta, SBY menyampaikan penilaiannya atas film tersebut.

Diungkapkan oleh SBY di depan para peliput setelah keluar dari Studio 1, menjelang akhir masa jabatannya pada 2009 ia telah menonton tiga film yang memiliki kekuatan pesan dan merupakan karya seni bermutu, yaitu Naga Bonar Jadi 2, Ayat-ayat Cinta, dan Laskar Pelangi. "Saya kagum, bangga, dan menyampaikan penghargaan kepada semua film yang mempunyai kekuatan pesan di dalamnya. Pesan pendidikan sangat jelas disampaikan dalam film Laskar Pelangi," ucapnya.

Ia mencatat dua hal penting dalam film Laskar Pelangi. "Pertama, dari segi estetika dan keindahan, film ini luar biasa. Akting para pemainnya natural dan menggambarkan betul situasi negeri kita waktu dulu dan sekarang," katanya. "Kedua, anak-anak Laskar Pelangi mengingatkan bahwa semua orang membutuhkan pendidikan untuk masa depan. Ini amanah buat saya dan Mendiknas untuk meningkatkan efektivitas pendidikan negara kita," katanya lagi.

Dengan dua hal tersebut, lanjutnya, ia menyarankan agar film itu dipertontonkan juga di luar Indonesia.

Sayangnya, sebagaimana akunya di dalam Studio 1 sebelum menonton film Laskar Pelangi, ia belum membaca novelnya. Jadi, ia tidak bisa mengulas lebih jauh film tersebut. Tapi, "Saya dengar, karya seni ini indah, patut diapresiasi," imbuhnya di hadapan mereka yang ada di Studio 1 sebelum film itu diputar mulai pukul 19.30 WIB.

Menonton film itu, SBY ditemani oleh istrinya, Ani Yudhoyono, dan satu dari dua putra mereka, Edi Baskoro. Ikut pula, Juru Bicara Kepresidenan Andi Malarangeng serta sejumlah menteri Kabinet Gotong Royong, yaitu Mendiknas, Menbudpar, Mensos, dan Menkominfo.

Sebagai tuan rumah, di samping Riri Riza, Andrea Hirata, dan Mira Lesmana (produser dari Miles Films), hadir 10 anak yang berperan sebagai anak-anak Laskar Pelangi. Datang pula Muslimah, guru dari Belitung yang kisah sejatinya menjadi bagian dari novel Laskar Pelangi dan dalam film tersebut dimainkan oleh Cut Mini. Diundang juga 100 anak jalanan di Jakarta

07 Oktober 2008

Laskar Pelangi : Mendidik dengan Hati

Kamis, 2 oktober 2008 / 2 syawal 1429 H selepas isya aku dan dik Bowo (adikku nomor 2) bolak-balik ke ATM BRI, ATM BCA dan ATM Mandiri Weleri untuk transfer booking ticket Laskar Pelangi di e-plasa semarang. Namun usaha kami malam itu kandas karena system yang down. Dan alhamdulillah baru keesokan harinya kami bisa transfer.


Sore itu, jum’at 3 oktober 2008 aku dan istriku mengendarai Supra X 125 ku, serta dik Bowo dan ibuku mengendarai Revo nya kurang lebih jam 4 meluncur meninggalkan weleri. Seusai buka puasa dan sholat maghrib di Masjid Baiturrahman kami menuju ke E-Plaza yang kebetulan berseberangan dengan masjid.


Persis jam 19.00 Studio 3 E-plasa dibuka, kami berempat segera mengambil posisi duduk di kursi sesuai nomor masing-masing tiket, Aku bersebelahan dengan istriku, sedang dibelakangku adalah ibu dan dik Bowo


Film ini dibuka dengan adegan seorang anak kecil yang dibujuk untuk menggunakan sepatu bekas ke untuk berangkat ke sekolah. Bukan masalah bekasnya, tapi sepatu itu adalah sepatu untuk wanita (lengkap dengan warnanya yang pink) padahal anak ini adalah seorang laki-laki. Dialah Ikal, salah seorang tokoh utama dari film ini.


Schene berikutnya memperlihatkan latar belakang cerita, berupa sekolah lokasi di Indonesia, sebuah pulau yang bernama Belitung, yang merupakan penghasil timah terbesar di Indonesia pada tahun 1970-an (settingan film ini memang bernuansa 70-an), namun di pulau tersebut terdapat 2 kehidupan yang amat kontras, yaitu kehidupan kelas atas para pegawai PN Timah dan kehidupan kelas bawah dari strata terendah di pulau tersebut. Pada kondisi inilah film ini bermain.


Adegan berikutnya adalah adegan pada sebuah sekolah dasar, yang bernama SD Muhammadiyah Gantong, yang juga merupakan SD satu-satunya yang bernafaskan Islam di daerah itu. SD ini merupakan pilihan terakhir bagi masyarakat yang masih punya harapan dan keinginan untuk menyekolahkan anaknya. Hal ini karena SD lain biayanya amat tinggi dan tidak terjangkau oleh mereka.


Kondisi SD ini amat memprihatinkan, dengan bangku sekolah yang rusak sana sini, atap dan dinding ruangan yang juga berlubang, lantai tanah yang kadang digunakan juga untuk kandang kambing. Bahkan salah satu sisi sekolah sampai harus disangga dengan kayu untuk mencegah sekolah ini roboh.


Kendala berikutnya adalah, sekolah ini sudah memperoleh peringatan dari penilik sekolah, bahwa agar tetap dapat membuka kelas, maka jumlah siswa baru yang mendaftar, minimal 10 orang.

Ketegangan untuk menunggu siswa mencapai 10 orang inilah yang tergambar pada adegan-adegan selanjutnya. Bapak K.A. Harfan Efendy Noor yang dipanggil dengan Pak Harfan sang kepala sekolah, dan Ibu N.A. Muslimah Hafsari atau Bu Mus sang guru sampai amat tegang menunggu murid terakhir, karena sampai pukul 11 siang, baru 9 orang yang mendaftar di sekolah tersebut.


Akhirnya, saat kepala sekolah sudah putus asa, dan sedang memberikan sambutan selamat datang sekaligus perpisahan untuk membubarkan sekolah, murid terakhir tampak berlari-lari untuk ikut sekolah disana. Sehingga, kuota minimal 10 orang terpenuhi.

10 orang murid tersebut adalah:

  1. Ikal, sang tokoh utama
  2. Lintang, anak sekorang nelayan, yang untuk bersekolah harus bersepeda 80 Km pulang pergi, sehingga baunya mirip bau hangus terbakar
  3. Mahar, sang seniman muda yang sejak kecil sudah menunjukkan bakatnya
  4. Sahara, satu-satunya wanita yang menjadi murid pada awal sekolah (nantinya akan ada murid berikutnya)
  5. Trapani, yang pada film ini tidak terlalu ditonjolkan
  6. Borek, yang suka mengganggu
  7. Kucai, sang ketua kelas
  8. A Kiong, satu-satunya siswa Hokian di SD itu
  9. Syahdan, yang juga tidak terlalu menonjol pada film ini
  10. Harun, anak terbelakang mental yang menjadi penyelamat SD Muhammadiyah, karena dialah yang menjadi murid ke 10 dan menyebabkan sekolah batal ditutup


Adegan berikutnya banyak diwarnai dengan pola belajar mengajar mereka, serta adegan-adegan dari kepala sekolah dan alasannya hingga tetap mempertahankan sekolah tersebut.


Salah satu petuah yang paling ditekankan oleh Pak Harfan adalah “Jangan terlalu banyak meminta, tetapi berusahalah untuk memberi sebanyak-banyaknya”.

Selanjutnya, mereka semakin akrab satu sama lain, bermain bersama, berpetualang bersama, bahkan pada suatu sore setelah hujan deras mereka berdiri diatas sebuah batu besar dan menyaksikan pelangi yang amat indah. Bu Mus yang mengikuti mereka lalu memanggil semua anak-anak tersebut dengan “Laskar Pelangi” dan inilah asal mula nama “Laskar Pelangi” untuk kelompok mereka.


Pada film ini juga diceritakan kisah “cinta monyet” Ikal dengan A Ling, anak penjual kapur tulis di kota, yang disebabkan karena Ikal melihat “kuku jarinya” saat menerima kapur tulis yang diberi. Juga diceritakan patah hati yang dialami Ikal, saat A Ling terpaksa harus pergi untuk melanjutkan sekolahnya.


Adegan kemudian banyak menyoroti 2 orang, yaitu Mahar dan Lintang dengan kelebihan masing-masing yang mewarnai kehidupan mereka.

Mahar, dengan sebuah radio transistor yang selalu menemani kemanapun dia pergi, adalah sebuah bibit seni yang tumbuh di tengah-tengah mereka. Tantangan pertama yang diberikan kepadanya adalah Karnaval 17 Agustus yang secara rutin dilaksanakan di Belitung.

Setiap tahun, karnaval ini menjadi sebuah cermin keberhasilan sekolah-sekolah, dan sebagai sebuah tradisi, selalu dimenangkan oleh SD PN Timah yang serba “terbaik” dan “ter-elite”. Tantangan untuk mendobrak kebiasaan ini sekarang ada di pundak Mahar. SD PN Timah selalu tampil dengan Marching Band terbaik dengan pakaian-pakaian terbaru dan berwarna warni, sehingga selalu menjadi juara. Bagaimana SD Muhammadiyah, dengan siswa yang melarat dan tidak ada dana satu rupiah-pun dapat menghadapi mereka ?


Setelah mencari ide berhari-hari bahkan sampai dianggap “gila” oleh teman-temannya, Mahar muncul dengan ide brillian, yaitu dengan tampil dengan kostum Suku Terasing yang menampilkan tarian suku terasing. Tentulah karena suku terasing hanya menggunakan daun-daunan sebagai pakaian, maka tidak diperlukan biaya apapun untuk tampil

Dengan koreografi yang khusus dirancang oleh Mahar dan dengan “senjata rahasia” yang dia siapkan, akhirnya SD Muhammadiyah menjadi juara umum pada karnaval tersebut


Karena kemenangan merekalah, maka salah seorang siswa SD PN Timah, seoang gadis tomboy yang susah diatur namun berani dan setia kawan, akhirnya pindah ke SD Muhammadiyah. Namanya adalah Flo.

Flo dan Mahar langsung saja akrab, dan sama-sama memiliki ketertarikan pada hal-hal yang bersifat “gaib.” Hal ini menyebabkan nilai-nilai mereka hancur dan terancam gagal pada ujian akhir. Namun, penyelesaian yang mereka cari rupanya tetap jauh dari akal sehat, yaitu mencoba mengunjungi seorang “dukun sakti” bernama Tuk Bayan Tula di Pulau Lanun untuk membantu menaikkan nilai ulangan mereka. Namun, pesan rahasia dari Tuk Bayan Tula yang sudah susah payah mereka cari rupanya amat jauh dari yang mereka harapkan…


Fokus cerita berikutnya adalah Lintang, yang merupakan siswa yang amat cerdas, yang dibuktikan dengan kecepatannya dalam menyelesaikan soal-soal Matematika tanpa mencatat sedikitpun. Pembuktian berikutnya adalah saat lomba cerdas cermat melawan SD PN Timah dengan skor yang cukup seru bahkan diwarnai dengan debat terhadap tim juri lomba.

Namun, si jenius ini akhirnya tidak dapat melanjutkan sekolahnya, karena sebagai anak sulung dan laki-laki satu-satunya, harus menggantikan ayahnya yang meninggal pada saat melaut.


Secara umum, film ini cukup mengasikkan dengan beberapa catatan:

  1. Penggambaran kurang mendalam, utamanya pada karakter. Mahar yang penuh dengan nilai seni yang luar biasa. Nilai seninya hanya ditunjukkan dengan radio transistor yang selalu dia bawa. Karakter Lintang pada awal tidak tergambarkan dengan baik sebagai siswa yang cerdas. Mengapa Bu Mus begitu mudahnya percaya dengan kepintaran Lintang hanya dengan sekali memberikan pertanyaan matematika ? Padahal, tidak akan sulit apabila ditambahkan 2-3 soal lagi dengan tingkat kesulitan yang lebih tinggi. Karakter Flo, sebagai gadis tomboy, amat jelek sekali. Akting yang amat kaku dan tidak tomboy seperti yang seharusnya
  2. Posisi tangan A Ling yang memperlihatkan kukunya sehingga membuat Ikal jatuh cinta malah dirusak dengan efek glare dan lens yang berlebihan, sehingga keindahan kuku A Ling justru tertutup.
  3. Adegan karnaval tidak terlalu “heboh”, padahal pada bukunya, pembaca dapat menggambarkan dengan jelas “kehebohan” yang terjadi. Hal ini karena pemerannya hanya 10 orang, padahal menurut buku itu dilakukan juga oleh siswa-siswa lain selain 10 orang ini. Efek buah yang menyebabkan gatal juga tidak tampak sama sekali. Termasuk adegan mencebur ke kubangan karena gatal juga tidak ditampilkan, padahal barangkali adengan ini bisa menambah kehebohan dari karnaval.
  4. Adegan Tuk Bayan Bula sangat hambar, tidak ada efek mereka susah payah kesana, padahal disampaikan mereka sampai melawan badai yang amat kuat pada saat mencari Flo maupun saat Laskar Pelangi mencari ”wangsit” untuk ujian
  5. Adegan meninggalnya Pak Harfan yang menyebabkan Bu Mus tidak mengajar selama 5 hari justru memperlemah karakter Bu Mus yang amat perhatian pada siswanya.
  6. Beberapa adegan yang tidak penting justru disampaikan dalam waktu lama (seperti adegan Mahar menyanyi) dan beberapa adegan yang harusnya diperkuat justru hanya ditampilkan sambil lalu.


Namun, lumayanlah dibandingkan dengan film-film Indonesia lainnya yang hanya menampilan horor tak jelas dan humor yang garing.

  • Sebagai seorang mantan murid SMA Muhammadiyah 1 Weleri.. film ini menyegarkan ingatanku kembali tentang proses pembentukan akhlaqul-karimah melalui proses penempaan nilai-nilai keislaman, keimanan, keikhsanan, keikhlasan, dan kesabaran serta ke-Muhammadiyah-an selama 3 tahun [1993-1996], nilai-nilai itu tetap aktual meskipun zaman terus silih berganti..
  • Sebagai seorang guru di SMA Muhammadiyah 1 Weleri yang merupakan almamater dan tempat pengabdianku.. film ini mengingatkanku untuk selalu jujur dalam memenuhi panggilan jiwa sebagai guru, uswatun hasanah dan sekaligus pejuang yg harus ikhlas me-waqaf-kan dirinya di medan pencerdasan bangsa, kapan saja dan dimana saja.. Keterbasan yang ada di sekolah, baik sarana, prasarana, Sumber daya siswa, dan sumber dana siswa bukan alasan untuk menjadikan kita lemah. Namun justru merupakan ladang yang amat luas bagi kita beramal dan mengamalkan segala potensi yang kita miliki. Jangan terlalu banyak meminta, tetapi berusahalah untuk memberi sebanyak-banyaknya
  • Sebagai manusia biasa.. film ini menyadarkan aku bahwa sehebat apapun manusia, masih ada dzat yang Maha Menentukan, Yang menjadikan apapun yang DIA kehendaki, sehingga segigih apapun usaha kita, sehebat apapun potensi kita, harus dibarengi dengan keikhlasan yang tinggi

Meskipun film ini menempatkan Ikal sebagai tokoh utama, namun sulit bagiku melupakan karakter Lintang yang cerdas-bersahaja dan Bunda Guru Muslimah yang ikhlas sabar gigih - tegar.. Setidaknya ada 4 moment yang memaksa air mataku menetes:

· Pertama, saat Lintang menjawab dengan tepat dan meyakinkan soal matematika yang ditanyakan oleh Bunda Guru Muslimah di kelas hanya dengan sejenak memejam mata..

· Kedua, saat Lintang dengan lugas menjelaskan kebenaran jawabannya atas soal terakhir matematika yang ditanyakan pada saat cerdas cermat melawan SD PN Timah.

· Ketiga, saat Lintang harus berpamitan dengan Bunda Guru Muslimah dan 9 kawan-kawan Laskar Pelangi-nya untuk berhenti sekolah karena terpaksa harus melaut sebagai nelayan untuk menghidupi adik-adiknya sepeninggal ayahanda Lintang

· Keempat, saat Bu Muslimah kembali mengajar setelah berkabung beberapa hari setelah wafatnya Pak Arfan yang kita cintai, anak-anak Laskar Pelangi berhambur memeluk Bunda Guru-nya seraya menumpahkan kerinduan dan kesepian dalam duka


Bukan bermaksud untuk terlalu mendramatisir, namun sangat ironis jika guru Muhammadiyah, siswa Muhammadiyah, atau simpatisan Muhammadiyah tidak menyaksikan film spektakuler ini, atau setidaknya mengkhatamkan novelnya.

http://maskwarta.blogspot.com/2008/10/film-laskar-pelangi-mendidik-dan.html

http://khalidmustafa.info/?p=408

01 Oktober 2008

Laskar Pelangi: Banyak Beri, Jangan Banyak Minta

Komentar tentang Film Laskar Pelangi
http://surauinyiak.wordpress.com/2008/09/26/laskar-pelangi/

Bismillahirrahmaanirrahiim

Akhirnya, jadi juga kami nonton film ini, setelah kemarin di hari pertama gagal karena kehabisan tiket. Padahal di hari pertama itu, cukup istimewa. Pasalnya, Sri Sultan Hamengkubuwono X beserta kru film Laskar Pelangi; Andrea Hirata sang penulis, Riri Riza sang sutradara dan Mira Lesmana sang produser mengadakan nonton bareng pada pemutaran perdananya di Jogja. Tapi kekecewaan itu terobati juga setelah menonton filmnya di hari kedua.

Secara keseluruhan film ini sangat bagus. Ceritanya cukup menggugah emosi dan gambar-gambar yang ditampilkan cukup membuat anakku berdecak kagum, “Emang itu di Indonesia Pa?, kok bagus amat? Emang ada tempat seperti itu di Indonesia?” Dan sejumlah pertanyaan lainnya yang membuatku kewalahan melayaninya. Memang harus diakui, bahwa pengambilan gambarnya sangat bagus, sehingga lokasi yang biasa-biasa saja terlihat sangat eksotis.

Karena aku tidak punya kapasitas dalam hal sinematografi, maka secara pandangan awam aku menyatakan suka dengan film ini. Meski aku juga harus jujur mengatakan bahwa visualitas yang ditinggalkannya di benakku setelah film ini berakhir tidak sekuat apa yang ditinggalkan film Ayat-Ayat Cinta. Kesan yang ditimbulkannya di hatiku tidak begitu dalam. Soundtrtacknya sepertinya tidak membuat film ini menjadi sesuatu yang bisa dikenang lama. Semoga aku salah!

Walaupun begitu, aku tetap menyatakan bahwa film ini wajib ditonton oleh semua khalayak, terutama para pelajar kota, orangtua dan praktisi pendidikan. Film ini berusaha menunjukkan bahwa keterbatasan bukanlah halangan untuk meraih cita-cita. Kunci utamanya ada pada diri kita; mau atau tidak?

Guru Luar Biasa = Murid Luar Biasa

Pak Harfan dan Bu Muslimah adalah dua orang guru yang luar biasa. Tekad mereka untuk memberikan pendidikan terbaik bagi anak-anak tersebut telah mengalahkan pandangan keduniawian mereka. Sepertinya harta benda bukanlah tujuan utama. Mereka tetap bertahan di sekolah tersebut meski nyawa menjadi taruhannya.

Semangat itulah yang mereka tularkan kepada anak-anak hebat tersebut. Satu pesan Pak Harfan yang membuatku terkesan adalah: “Berilah sebanyak-banyaknya dan jangan minta sebanyak-banyaknya“. Tampak sebuah dorongan semangat keikhlasan yang luar biasa yang beliau tularkan kepada para Laskar Pelangi tersebut.

Kaya Ilmu = Kaya Harta

Lintang seorang anak nelayan miskin yang telah ditinggal ibunya untuk selamanya, memberi inspirasi semangat keilmuan bagiku. Meski harus menjaga adik-adiknya, tapi dia tetap bersemangat berangkat menuju sekolah reotnya yang berjarak hampir 80 km. Bahkan, di tengah jalanpun dia harus berbagi jalan dengan seekor buaya muara. Prinsipnya; “Untuk keluar dari segala kemelaratan ini, aku harus pintar dan berilmu…!”

Meski tekadnya untuk menuntut ilmu harus berhenti di tengah jalan karena kematian menjemput ayahnya, tapi semangat keilmuan itu tetap dia pertahankan. Di masa dewasanya, semangat itu dia tularkan kepada putrinya. Sungguh sebuah perjuangan yang luar biasa.

Kritikan Untuk Muhammadiyah

Secara tidak langsung, film ini telah mengangkat nama Muhammadiyah. Dengan dijadikannya sekolah Muhammadiyah sebagai lokasinya, tentu saja membuat nama Muhammadiyah semakin dikenal orang. Tapi, bagiku ini merupakan sebuah kritikan hebat bagi Muhammadiyah.

Melalui film itu sepertinya terlihat bagaimana tidak pedulinya pimpinan Muhammadiyah dari tingkat cabang sampai pusat dengan keadaan sekolah yang sudah nyaris rubuh tersebut. Pertanyaanku, apakah di masa itu tidak ada koordinasi maupun pengawasan dari pihak Muhammadiyah, sehingga membiarkan sekolah itu berjalan seperti itu? Entahlah!

Tapi yang pasti, pengalamanku belasan tahun yang lalu menunjukkan kebenaran kegelisahanku. Ketika aku dan beberapa kawan merintis sebuah sekolah dengan label Muhammadiyah di tengah hutan di sebuah desa terpencil di kota kaya minyak, Duri Riau, menunjukkan kebenaran ini. Di masa awal perintisan, sedikitpun kami tidak mendapat perhatian dari pimpinan Muhammadiyah. Tapi, begitu keberhasilan mulai nampak, berduyun-duyun mereka mendatangi kami dan memperkenalkan diri sebagai orang Muhammadiyah. Hah… film ini menggugah kembali memoriku yang indah sekaligus pahit bersama sekolah Muhammadiyah. Ya, aku pernah pada posisi Pak Harfan dan Bu Muslimah…

Akhirnya, dengan segala kekurangannya, aku tetap merekomendasikan film ini untuk ditonton. Sungguh, inspirasi yang ditunjukkan film ini akan dapat menggugah kita. Semoga film ini tidak berhenti sampai di sini. Kita tunggu kelanjutan sekuelnya, semoga…!

Andrea Hirata : “Film Laskar Pelangi, Saya Persembahkan Bagi Muhammadiyah”

Bismillahirrahmaanirrahiim

Yogyakarta- “Selain sebagai gerakan ppendidikan, Muhammadiyah juga sebagai gerakan budaya, film juga merupakan komponen penting dari budaya, dan film Laskar Pelangi bagi saya merupakan persembah saya pada Muhammadiyah,” tegas Andrea Hirata, penulis novel Laskar Pelangi, saat di hubungi redaksi muhammadiyah.or.id melalui sambungan telepon, Jum’at (27/09/2008).

Menurut Andrea, Film Laskar Pelangi merupakan Film yang sangat Muhammadiyah, dimana banyak nilai-nilai pendidikan Muhammadiyah yang tertanam di setiap pendidikan dasarnya termuat dalam film tersebut. “Syukur alhamdulillah setelah berpuluh-puluh tahun akhirnya Muhammadiyah punya film, dan melalui film ini, saya ingin memperkenalkan nilai-nilai pendidikan Muhammadiyah yang selama ini saya dapat melalui pendidikan dasarnya,” jelas Andrea.

Lebih lanjut menurut Andrea, berkaitan dengan peluncuran film Laskar Pelangi mulai tanggal 25 Sepetember 2008, adalah peluang besar bagi Muhammadiyah untuk memperlihatkan, betapa hebat dan mulia nilai-nilai yang selama ini dikembangkan dalam diri Muhammadiyah. “Saya harap film ini wajib ditonton warga Muhammadiyah, bagi yang tua maupun muda, karena banyak pesan yang terkandung di dalamnya. Buku Laskar Pelangi, buku yang sangat Muhammadiyah, telah menjadi buku terlaris dalam sejarah Indonesia, Film Laskar Pelangi, film yang sangat Muhammadiyah, sepanjang saya dengar kemarin, juga mencatat penonton terbanyak pada pemutaran film perdana di Indonesia,” ungkap Andrea

http://www.muhammadiyah.or.id/index.php?option=com_content&task=view&id=1314&Itemid=2