11 September 2008

I'tikaf

Bismillahirrahmaanirrahiim

Hudzaifah.org - Di antara sunnah Rasulullah saw yang selalu dilakukan pada paruh terakhir bulan Ramadhan adalah I’tikaf. Secara harfiyah, i’tikaf adalah tinggal atau menetap di dalam masjid dengan niat beribadah guna mendekatkan diri kepada Allah swt.

Penggunaan kata I’tikaf dalam Al Qur’an terdapat pada firman Allah SWT, “Kemudian sempurnakanlah puasa itu sampai (datang) malam, (tetapi) janganlah kamu campuri mereka itu, sedang kamu beri’tikaf di dalam masjid. Itulah larangan Allah, maka jangan kamu mendekatinya. Demikian Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepada manusia supaya mereka bertaqwa.” (QS. 2: 187).


Hukum I’tikaf

Para ulama telah berijma’ bahwa i’tikaf khususnya 10 hari terakhir pada bulan Ramadhan merupakan suatu ibadah yang disyariatkan dan disunnahkan. Rasulullah SAW sendiri senantiasa beri’tikaf pada bulan Ramadhan selama 10 hari. Aisyah, Ibnu Umar dan Anas ra. Meriwayatkan, “Rasulullah SAW selalu beri’tikaf pada 10 hari terakhir bulan Ramadhan.” (HR. Bukhari dan Muslim).

Hal ini dilakukan oelh beliau hingga wafat. Bahkan pada tahun wafatnya beliau beri’tikaf selama 20 hari. Demikian pula halnya dengan para sahabat dan istri Rasulullah SAW senantiasa melaksanakan ibadah yang amat agung ini. Imam Ahmad berkata : “Sepengetahuan saya tidak ada seorangpun dari ulama yang mengatakan bahwa i’tikaf itu bukan sunnah.”


Keutamaan dan dan Tujuan I’tikaf

Abu Daud pernah bertanya kepada Imam Ahmad, “Tahukah anda hadits yang menunjukkan keutamaan I’tikaf?” Ahmad menjawab, “Tidak, kecuali hadits yang lemah.”

Namun demikian tidaklah mengurngi nilai abadah i’tikaf itu sendiri sebagai taqorrub kepada Allah SWT. Dan cukuplah keutamaannya bahwa Rasulullah SAW, para sahabat dan istri Rasulullah SAW dan para ulama salafusholeh senantiasa melakukan ibadah ini.

I’tikaf disyariatkan dalam rangka mensucikan hati dengan berkonsentrasi semaksimal mungkin dalam beribadah dan bertaqorrub kepada Allah pada waktu yang terbatas tetapi termat tinggi nilainya. Auh dari rutinitas kehidupan dunia, dengan berserah diri sepenuhnya kepada Sang Kholiq (Pencipta).
Bermunajat sambil berdoa dan beristighfar kepada-Nya sehingga saat kembali lagi dalam aktivitas kesehrian dapat dijalani secara lebih berkualitas dan berarti.

Ibnu Qoyyim berkata : “I’tikaf disyariatkan dengan tujuan agar hati beri’tikaf dan bersimpuh di hadapan Allah, berkhalwat dengan-Nya, serta memutuskan hubungan sementara dengan sesama makhluk dan berkonsentrasi sepenuhnya kepada Allah.


Macam-Macam I’tikaf

I’tikaf yang disyariatkan ada dua macam :
1. I’tikaf sunnah yaitu i’tikaf yang dilakukan secara sukarela. Semata-mata untuk bertaqorrub kepada Allah, seperti I’tikaf 10 hari terakhir pada Bulan Ramadhan.
2. I’tikaf wajib yaitu yang didahului dengan nadzar atau janji. Seperi ucapan seseorang, “Kalau Allah ta’ala menyembuhkan penyakitku ini, maka aku akan beri’tikaf di masjid selama tiga hari,”maka i’tikaf tiga hari itu menjadi waib hukumnya.


Waktu I’tikaf

Untuk i’tikaf wajib tergantung pada berapa lama waktu yan dinadzarkan, sedangkan i’tikaf sunnah tidak ada batasan waktu tertentu. Kapan saja, pada malam atau siang hari, waktunya bisa lama dan juga bisa singkat.

Minimal dalam madzhab Hanafi, “Sekejap tanpa batas waktu tertentu, sekedar berdiam diri dengan niat.” Atau dalam Madzhab Syafi’i, “Sesaat atau sejenak (yang penting bisa dikatakan berdiam diri),” dan dalam madzhab Hambali, “Satu jam saja”.

Terlepas dari perbedaan pendapat ualma tadi, waktu i’tikaf yang paling afdhal pada bulan Ramadhan ialah sebagaimana dipraktekkan langsung oleh Rasulullah SAW yaitu 10 hari terakhir bulan Ramadhan.


Tempat I’tikaf

Ahli fiqh berbeda pendapat tentang tempat yang boleh dijadikan untuk i’tikaf. Abu Hanifah dan Ahmad berpendapat bahwa I’tikaf harus dilakukan di masjid yang selalu dugunakan untuk shalat berjamaah sdangkan Malik dan Syafiii berpendapat bahwa I’tikaf boleh dilakukan di masjid manapun baik yang digunakan untuk shalat berjamaah ataupun tidak.

Pengikut syafi’iyah bependapat bahwa sebaiknya I’tikaf itu dilakukan di masjid jami’ yang biasa digunakan untuk shalat jum’at. Lebih afdhol lagi bila i’tikaf dilaksankan di salah satu dari tiga masjid; Masjid al haram, Masjid Nabawi atau Masjid Aqsha (lihat: Al Mughni 4/462, Fiqh Sunnah 1/402).


Syarat dan Rukun I’tikaf

Orang yang I’tikaf harus memenuhi kriteria-kriteria sebagai berikut:
1. Muslim
2. Berakal
3. Suci dari janabah (junub), haidh dan nifas

Oleh karena itu I’tikaf tidak sah dilakukan oleh orang kafgir, anak yang mumaiyiz (mampu membedakan), orang junub, wanita haidh dan nifas.


Rukun I’tikaf

1. Niat yang ikhlas, hal ini karena semua amal sangat tergantung pada niatnya.
2. Berdiam di masjid (QS. 2 : 187).


Awal dan Akhir I’tikaf

Bagi yang mengikuti sunnah Rasulullah SAW dengan beri’tikaf selama 10 haru terakhir bulan Ramadhan, maka waktnya dimulai sebelum terbenam matahari malam ke-21. Sabda Rasulullah SAW, “Barangsiapa yang ingin I’tikaf dengan aku, hendaklah I’tikaf pada 10 hari terakhir.”

Adapun waktu keluarnya atau berakhirnya, yaitu setelah terbenam matahari pada hari terakhir bulan Ramadhan. Akan tetapi beberapa kalangan ulama mengatak yang lebih mustahab (disenangi) adalah menunggu sampai dilaksanakannya shalat Ied.


Hal-Hal Saat I’tikaf

Disunnahkan bagi orang yang beri’tikaf untuk memperbanyak ibadah dan taqorrub kepada Allah SWT. Seperti shalat sunnah, membaca AL Qur’an, tasbuh, tahmid, tahlil, takbir, istighfar, shalawat kepada Nabi SAW, doa dan sebagainya.

Namun demikian yang menjadi prioritas ulama adalah ibadah-ibadah mahdhah. Bahkan sebagian ulama seperti Imam Malik, meninggalkan segala aktivitas ilmiah lainnya dan berkonsentrasi penuh pada ibadah-ibadah mahdhah.

Dalam upaya memperkokoh keislaman dan ketaqwaan, diperlukan bimbingan dari orang-orang yang ahli, karenanya dalam memanfaatkan momentum i’tikaf bisa dibenarkan melakukan berbagai kajian keislaman yang mengarahkan peserta i’tikaf untuk membersihkan diri dari segala dosa dan sifat tercela serta menjalani kehidupan sesudah i’tikaf secara lebih baik sebagaimana yang ditentukan Allah SWT dan Rasul-Nya.

Orang yang beri’tikaf bukan berarti hanya berdiam diri di masjid untuk menjalankan peribadatan secara khusus. Ada beberapa hal yang diperbolehkan :

1. Keluar dari tempat i’tikaf untuk mengantar istri, sebgaimana yang dilakukan oleh Rasulullah SAW terhadap istrinya Shofiyah r.a (HR. Bukhari-Muslim).
2. Menyisir atau mencukur rambut, memotong kuku, membersihkan tubuh dari kotoran dan bau badan.
3. Keluar ke tempat yang memang amat diperlukan seperti untuk buang air besar dan kecil, makan, minum (Jika tidak ada yang mengantarkan), dan sesagala sesuatu yang tidak mungkin dilakukan di masjid. Tetapi ia harus segera kembali setelah menyelesaikan keperluannya.
4. Makan, minum, dan tidur di masjid dengan senantiasa menjaga kesucian dan kebersihan masjid.


Hal-Hal yang Membatalkan i’tikaf

1. Meninggalkan masjid dengan sengaja tanpa keperluan, meski sebentar. Karena meninggalkan masjid berarti mengabaikan salah satu rukun i’tikaf yaitu berdiam di masjid.
2. Murtad (keluar dari Islam).
3. Hilang akal karena gila atau mabuk.
4. Haidh
5. Nifas
6. Berjima’ (bersetubuh dengan istri), tetapi memegang tanpa nafsu (syahwat), tidak apa-apa sebagaimana yang dilakukan nabi dengan istri-istrinya.
7. Pergi shalat Jum’at (bagi mereka yang memperbolehkan i’tikaf di mushola yang tidak dipakai shalat Jum’at).

Demikian ketentuan tentang i’tikaf yang menjadi panduan praktis, semoga Ramadhan tahun ini, kita dapat menghidupkan kembali sunnah i’tikaf sebagai bekal kita meraih nilai taqwa yang maksimal. []

Tidak ada komentar: